AISI Ungkap Opsen Dapat Menurunkan 20 Persen Penjualan Motor hingga PHK
Penjualan sepeda motor baru tahun depan diprediksi akan mengalami penurunan sebesar 20 persen dibandingkan dengan tahun ini. Hal ini disebabkan oleh penerapan opsen untuk kendaraan. Menurut Ketua bidang komersial Asosiasi Industri Sepeda motor Indonesia (AISI), Sigit Kumala, penurunan ini terjadi akibat kenaikan harga yang dipengaruhi oleh opsen. Pada tahun depan, terdapat dua opsen yang akan diberlakukan untuk kendaraan, yaitu opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dengan tarif masing-masing sebesar 66 persen.
“Penurunan penjualan hingga 20 persen dipicu oleh naiknya harga sepeda motor baru akibat pemberlakuan pungutan pajak tambahan atau opsen atas PKB dan BBNKB yang besarnya mencapai 66 persen,” ujar Sigit dalam keterangannya pada Jumat (13/12). AISI mencatat bahwa penjualan motor dari Januari hingga November 2024 telah mencapai 5,9 juta unit, atau tumbuh sebesar 2,06 persen dari periode yang sama pada tahun 2023. AISI menargetkan total penjualan tahun ini berada di kisaran 6,35 juta hingga 6,45 juta unit.
Awalnya, AISI optimis bahwa pasar roda dua bisa mencapai 6,4 juta unit hingga 6,7 juta unit pada tahun 2025. Namun, karena faktor opsen pajak ini, Sigit khawatir penjualan akan tertekan hingga 20 persen. Penurunan penjualan juga berdampak pada rantai pasar otomotif. Sigit memperkirakan bahwa produsen kemungkinan akan memangkas produksi, yang akan berdampak pada pengurangan permintaan terhadap industri suku cadang.
Lebih lanjut, Sigit memprediksi bahwa jika pengiriman sepeda motor terus terkoreksi akibat opsen, maka akan timbul dampak besar berupa PHK di industri otomotif. “Jika dampaknya sangat besar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK di industri ini. Dampak ini juga berpotensi terjadi di rantai bisnis industri yang ada di sisi hilir, baik itu di penjualan, layanan purna jual, industri pembiayaan, maupun asuransi,” ujar Sigit.
Kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini, menurut Sigit, berpotensi menekan daya saing industri ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN. “Negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen hingga Juni 2025,” tambahnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia menambahkan PPN menjadi 12 persen, ditambah kenaikan PKB dan BBNKB serta tambahan pajak atau opsen.
“Jika kebijakan ini diterapkan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita akan melemah. Hal ini tentu tidak positif untuk iklim investasi,” tegas Sigit.